Tulisan ini buat para yang suka ngompol (ngomong politik) atau orang yang lebih suka mengomentari, mungkin aku orang science, gak ngerti politik orang yang cuman 1+1=2 dan ga bisa jadi 5, jadi kepengen nulis soal kebiasaan kita, sadarkah kita kalau budaya kita itu sekarang ini menjadi budaya “komentar” hal ini di inspirasikan oleh komentator komentator bola di Indonesia dan Malaysia.
Kalau komentator di Indonesia, ngomongnya terlalu berlebihan, kadang suka ngomong ntah kemana mana, komentator terbaik yang penah aku denger itu John motson dan Andy gray (btw bener gak spellnya ?) sisanya parah, kalau komentator Malaysia memiliki kesan suka memberikan komentar yang kesanya membanggakan bangsanya (kalau menang) kalau kalah diem aja ga banyak komen, kalau menang, banyak sekali kalimat hiperbola yang di keluarkan.
Di dunia politik juga gitu, banyak para blogger yang mengomentari keresahanya tentang bbm, mengomentari tentang susah nya hidup di Indonesia, para demonstran yang mengomentari para pemimpin pemimpin bangsa, bisanya hanya menyuruh si A turun dari jabatan, si B turun dari jabatan, kalau itu sudah tercapai kita kembali kebingungan untuk mencari pemimpin yang baru, akhirnya negara kembali kedalam chaos, akhirnya rakyat tetap saja sengsara dan ini gak akan berujung.
Kadang kita mengomentari, si A ini kenapa sih begini, harusnya begini, yang sebenarnya kita sendiri tidak mengetahui kekacauan nya ada dimana, sehingga dari sebuah persepsi kita melakukan sebuah tindakan, melalui persepsi kita mengeluarkan komentar, dan lainya, padahal kita tidak mengetahui fakta nya seperti apa, padahal kita sendiri tidak di dalamnya, bagaimana mungkin kita tahu ?
Bagaimana mungkin kita tahu, kalau jaringan koruptor itu sangat kuat ? hingga presiden pun kewalahan ? bagaimana kita tahu ? ya faktanya kita akan mengetahuinya kalau kita ada di dalam kancah para perwakilan itulah, kalau kita orang luar mana mungkin kita bisa tau soal gituan, kalau kita mau tau ya sebaiknya kita jangan memberi komentar tapi harusnya ikut berperan dan cari tau sendiri, ikut ke organisasi yang menyelidiki, itu baru bener, bukanya memberi argumentasi yang berasal dari persepsi.
Aku yakin, ketika kita mengkritik si A begini si B begini, dan si A harus turun si B harus dipecat, setelahnya kita pasti kebingungan, karena setalah itu kita ngga tau lagi apa yang mau kita buat, karena kebanyakan yang kita lakukan kita mengkritik, tampa ada memberikan solusi yang tepat, kita cuman bisa mengkritik, kamu jelek tapi kita sendiri gak mampu membuat kamu jadi indah.
Kita hanya mampu mengatakan, hidup ini semakin susah, barang naik, minyak naik, tapi kita sendiri ngga mampu melakukan apa apa untuk membuat hidup ini lebih baik, yang padahal kita sendiri tau, hidup yang lebih baik itu bisa di capai oleh tangan kita sendiri tampa mengharapkan orang dan lingkungan, jadi bisa kita katakan kalau kita mengeluhkan keadaan itu adalah sebuah bentuk ketidak mampuan kita untuk bertahan hidup dan kelemahan kita.
Demikian parahkan kondisi bangsa kita? Kelihatnnya si iya, kita harus mulai jujur kepada diri kita, apa yang selama ini kita berikan dan lakukan untuk negeri tercinta ini. Apakah kita termasuk kontributor atau komentator? Termasuk pemain atau penonton? Kita harus menyadari, bahwa mayoritas kita, masih jauh dari nilai-nilai luhur. Kenyataannya, kita kadang masih malas, pesimis, sombong, egois, iri, dengki, tidak tepat waktu, tidak disiplin, tidak konsisten, tidak rapih, tidak jujur, tidak semangat, bahkan disinyalir ada sebagian (banyak kali) dari kita ini yang nekat menjadi koruptor, teroris, politisi busuk, germo, bandar judi, pengkhianat, tukang tawuran, tukang ramal, tukang kawin, dll.
Inspired from: Dr. H.M.Hidayat Nur Wahid,MA